Kategori
Artikel

PERLINDUNGAN   HUKUM   BAGI   HAK-HAK KREDITOR DALAM UU KEPAILITAN DAN PKPU

 Seiring dengan pertumbuhan perdagangan yang semakin pesat dan ekspansi global yang lebih  luas,  permasalahan  terkait  utang  piutang  perusahaan  juga  menjadi  semakin  kompleks, memerlukan  regulasi  hukum  yang  efisien.  Dalam  konteks  pertumbuhan  ekonomi  global, keberadaan  aturan  hukum  kepailitan  menjadi  penting  dalam  penyelesaian  permasalahan utang  piutang  perusahaan,  memberikan  panduan  hukum  yang  diperlukan  bagi  pelaku  bisnis dalam   menangani   kendala-kendala   tersebut.   Fenomena   globalisasi   dalam   ranah   hukum mengikuti   jejak   globalisasi   ekonomi,   di   mana   substansi   berbagai   undang-undang   dan perjanjian melintasi batas-batas negara.

        Dalam era globalisasi dan dinamika ekonomi   yang   terus   berkembang,   masalah   kebangkrutan   perusahaan   menjadi   isu   yang semakin   kompleks   dan   memerlukan   pendekatan   hukum   yang   cermat. Menurut Pasal 1 angka 1 UUK-PKPU, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.    Kepailitan   suatu perusahaan  tidak  hanya  berdampak  pada  pelaku  usaha  itu  sendiri  tetapi  juga  memberikan dampak  signifikan  pada  stakeholder  terkait,  termasuk  kreditur,  karyawan,  dan  masyarakat luas.   Oleh   karena   itu,   pengembangan   mekanisme   hukum   yang   dapat   mengelola   proses kebangkrutan dengan efisien dan adil menjadi suatu keharusan

      Pengertian  Kreditor  disini  hanya ditujukan pada orang, belum menunjukkan  pada  suatu  badan  atau lembaga.  Namun  pengertian  ini  telah mengarah  pada  suatu  subjek  hokum yang memberikan utang kepada Debitor. Sedangkan Kreditor itu adalah orang   yang   memiliki   piutang   atau tagihan (Bisdan Sigalingging, 2017).  Pengertian Kreditor secara yuridis ditentukan   dalam   pasal   1   angka   2 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU yaitu  “Kreditor  adalah  orang  yang mempunyai  piutang  karena  perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan”.

       Dasar hukum penggolongan Kreditor  terdapat  dalam  pasal  1131-1149 Burgerlijk  Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum  Perdata). Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut,  kreditor  dapat  digolongkan menjadi 3 (tiga) yaitu: (Nien  Rafles  Siregar:201).  

1. Kreditor   Separatis   yaitu   Kreditor pemegang jaminan kebendaan berdasarkan   Pasal   1134   ayat   (2) KUH   Perdata   yaitu   Gadai   dan Hipotik.  Saat  ini jaminan-jaminan kebendaan yang diatur di Indonesia adalah:

a. Gadai  (Pasal  1150  sampai  dengan Pasal 1160 KUH Perdata);

b. Fidusia  (UU  No.  42  Tahun  1999 tentang Jaminan Fidusia);

c. Hak Tanggungan (UU No. 4 Tahun 1996   tentang   Hak   Tanggungan Atas  Tanah  Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah);

d. Hipotik  Kapal  (Pasal  1162  sampai dengan Pasal 1232 KUH Perdata);

e. Resi  Gudang  (UU  No.  9  Tahun 2006  tentang  Sistem  Resi  Gudang sebagaimana  telah  diubah  dengan UU No. 9 Tahun 2011)

2. Kreditor   Preferen   yaitu   Kreditor yang  mempunyai  hak  mendahului karena sifat piutangnya oleh undang-undang   diberi   kedudukan istimewa.  Kreditor  Preferen  terdiri dari    Kreditor    preferen    khusus, sebagaimana   diatur   dalam   Pasal 1139  KUH  Perdata,  dan  Kreditor Preferen Umum, sebagaimana diatur   dalamPasal   1149   KUH Perdata.

3. Kreditor  Konkuren  yaitu  Kreditor yang tidak termasuk dalam Kreditor Separatis   dan   Kreditor   Preferen (Pasal  1131  jo.  Pasal  1132  KUH Perdata).

        Menurut para sejarawan, awal dari hukum  kepailitan   dapat    ditelusuri sampai  ke  hukum  Romawidi  tahun 118   SM   (Sebelum   Romawi).   Pada zaman     tersebut,     apabila     seorang Debitor tidak dapat melunasi utangnya, maka pribadi Debitor secara fisik yang harus bertanggungjawab. Pada abad ke 5   SM,   apabila   Debitor   tidak   dapat melunasi   utangnya,   maka   Kreditor berhak untuk menjual Debitor sebagai budak. Hasil penjualan pribadi Debitor tersebut  merupakan  sumber  pelunasan bagi    utangnya    terhadap    Kreditor. Namun,   sebelumnya   Kreditor   harus memberikan   waktu   selama   60   hari kepada  Debitor  untuk  mengupayakan pelunasan utangnya itu (Sutan Remy Sjahdeini: 2018).

        Sementara itu, pada Abad Pertengahan   di   Eropa   ada   praktek kebangkrutan dengan melakukan penghancuran  bangku-bangku    dari para    bankir    atau    pedagang    yang melarikan    diri    secara    diam-diam dengan membawa harta para Kreditor. Atau seperti keadaan di Venesia (Italia) waktu    itu,    dimana    para    pemberi pinjaman  (bankir)  saat  itu  yang  banco (bangku)  mereka  yang  tidak  mampu  lagi membayar utang atau gagal dalam usahanya, bangku tersebut benar-benar telah patah atau hancur (Munir Fuady, 2014:3).

        Dalam sejarah berlakunya kepailitan di  Indonesia,  maka  dapat dibagi menjadi tiga masa,yakni:

1.Masa sebelum Faillisements Verordening

2. Masa berlakunya Faillisements Verordening

3. Masa Berlakunya Undang-Undang Kepailitan Produk Hukum Nasional (Eva  Krisnawati, 2010:7).

        Pada    tanggal 22 April  1998 pemerintah Republik  Indonesia  telah menetapkan Peraturan     Pemerintah Pengganti    Undang-Undang    No.  1 Tahun  1998  tentang  Perubahan  atas Undang-Undang Kepailitan. Perpu No. 1 Tahun 1998 ini mulai berlaku setelah 120  hari  sejak  tanggal  diundangkan. Perpu tersebut kemudian telah diterima oleh     Dewan     Perwakilan    Rakyat menjadi undang-undang dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998.

       Pokok-pokok penyempurnaan yang  dilakukan  oleh  Perpu  Kepailitan yang disebutkan dalam penjelasan atas Undang-Undang    Kepailitan    bagian umum adalah sebagai berikut:

1.Syarat-syarat dan prosedur permintaan pernyataan pailit, termasuk   mengenai   time   frame yang lebih pasti;

2.Tambahan   pengaturan    tentang tindakan   sementara   yang   dapat diambil     pihak     Kreditor   atas kekayaan Debitor sebelum adanya putusan kepailitan;

3.Peneguhan   fungsi   Kurator   dan dibukanya   kemungkinan   adanya Kurator swasta;

4.Pengesahan  bahwa  upaya  hukum yang    mungkin    adalah    kasasi (tanpa banding) serta tata caranya yang lebih jelas;

5.Adanya   mekanisme   stay   yang merupakan penangguhan pelaksanaan hak Kreditor Preferen dan    pengaturan    status    hukum tentang    perikatan    yang    telah dibuat sebelum putusan pernyataan pailit;

6.Penyempurnaan ketentuan mengenai   tundaan   pembayaran; dan

7.Pembentukan  pengadilan  khusus yang  disebut  dengan  Pengadilan Niaga (Munmi Fuady, 2010:56).

       Kehadiran Undang-Undang Nomor  37   tahun     2004     tentang Kepailitan  dan  Penundaan  Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU) ditengah  masyarakat  khususnya  para pelaku bisnis yang sedang menghadapi masalah    sengketa    utang    piutang diharapkan dapat membantu penyelesaiannya,  karena  sistem  yang digunakan  sangat  cepat,  adil,  terbuka, dan   efektif   serta   menjadi   pegangan bagi  penyelesaian  utang-piutang  yang tidak    saling    merugikan    melainkan sebaliknya justru saling menguntungkan    para    pihak    yaitu Kreditor dan Debitor.Apabila  terjadi  kredit  macet,  dan Debitor   dipailitkan,   maka   Kreditor pemegang   jaminan   kebendaan   atau Kreditor Separatis dapat mengeksekusi jaminan utang. Dalam hal ini Kreditor Separatis dapat menjual dan mengambil   hasil   penjualan   jaminan utang tersebut seolah-olah tidak terjadi kepailitan,   bahkan   jika   diperkirakan hasil penjualan jaminan utang tersebut tidak menutupi masing-masing seluruh utangnya, maka Kreditor

       Separatis    dapat    meminta    agar kekurangan   tersebut   diperhitungkan sebagai Kreditor Konkuren. Sebaliknya,   apabila   hasil   penjualan aset  tersebut  melebihi  utangnya,  plus bunga     setelah     pernyataan     pailit, ongkos-ongkos    dan    utang,    maka kelebihan tersebut haruslah diserahkan kepada pihak Debitor. Dengan demikian, Kreditor Separatis diberikan kedudukan didahulukan daripada Kreditor Konkuren, dimana pemberian kedudukan tersebut bertujuan memberikan perlindungan hukum.

        Dalam  hal  ini,  Kreditor  Separatis juga mempunyai hak untuk mengajukan   kepailitan   tanpa   harus melepaskan hak separatisnya. Demikian juga Kreditor Preferen, tetap dapat  mengajukan  pailit  tanpa  harus melepaskan   haknya  atau   dalam   arti dapat mengajukan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang   mereka   miliki   terhadap   harta Debitor  dan  hak  untuk  didahulukan (Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004). Demikian juga sebaliknya   jika   Debitor   dinyatakan pailit  maka  Kreditor  Separatis  berada dalam    keadaan    seolah-olah    tidak terjadi kepailitan sebagaimana ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004.

       Dalam  hak-hak  Kreditor  separatis terkandung  unsur-unsur: 1) Kreditor diberikan  hak  secara  ex  lege;  2)  Hak timbul dari hak jaminan kebendaan; 3) Kreditor memiliki hak jaminan kebendaan;   4)   Kreditor   mempunyai kedudukan di dahulukan dari Kreditor Konkuren; 5) Debitor telah dinyatakan pailit; 6) Kreditor tidak terkena akibat Debitor  pailit;  7)  Hak  jaminan  tidak termasuk harta pailit; 8) Kreditor dapat melaksanakan   eksekusinya   terhadap benda jaminan; 9) Kreditor mempunyai kewenangan untuk menjual dan meneriman hasil penjualannya  yang  terpisah  dari  harta pailit;   dan   10)   Wilayah   pengadilan yang berwenang menerima, memeriksa, memutuskan adalah Pengadilan Niaga ( Sri  Redjeki  Slamet,2016:54).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *