Baru-baru ini masyarakat Indonesia digegerkan dengan pernyataan Presiden Prabowo yang mengampuni koruptor asal mengembalikan hasil curian adalah sinyal buruk bagi pemberantasan korupsi. Prabowo Subianto mengatakan ingin memberikan kesempatan kepada koruptor untuk bertobat dan akan diberikan maaf oleh pemerintah serta tidak akan dipublikasikan identitasnya. Hal ini disampaikan Prabowo dalam pidatonya di hadapan mahasiswa Indonesia di Gedung Al-Azhar Conference Center, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, Rabu, 18 Desember 2024.
Kasus yang terjadi terkait korupsi akhir-akhir ini, nampaknya masih menjadi sorotan peristiwa hukum selama tahun 2004. Sepanjang 2024, kasus korupsi sejumlah pejabat negara dari berbagai latar belakang, seperti penegak hukum hingga kepala daerah masih menghiasi pemberitaan media massa di tanah air. Berbagai kasus korupsi ini menyentuh sektor-sektor yang strategis dan menyentuh kehidupan masyarakat luas.
Tentunya Pernyataan Prabowo yang sempat menggegerkan dunia maya ini menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Ada yang sepakat dengan pernyataan tersebut, tetapi tak sedikit pula yang menentang gagasan pengampunan kepada koruptor. Seperti halnya Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD., angkat bicara dengan mengatakan gagasan Prabowo memaafkan koruptor yang mengembalikan kerugian negara bertentangan dengan hukum. Dia mengatakan, selaku presiden, Prabowo harus lebih berhati-hati lagi dalam membuat pernyataan.
“Menurut hukum yang berlaku sekarang, itu tidak boleh (koruptor dimaafkan) karena bertentangan dengan Pasal 55 KUHP,” kata Mahfud Pasal 55 KUHP mengatur tentang penyertaan dalam tindak pidana. Menurut pasal itu, seseorang dapat dipidana ketika melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan pidana.Ide memaafkan koruptor meski sudah mengembalikan hasil korupsi, ujar Mahfud, juga melabrak prinsip penegakan hukum. Dia mengatakan tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai penghalang-halangan penegakan hukum”.
Berdasarkan fonemena di atas,pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini sudah sangat meresahkan dan menyedihkan. Padahal korupsi di Indonesia saat ini telah sedemikian menggurita, akut, dan sistemik. Keberadaan sanksi pidana yang tegas dan keras memiliki peran yang sangat penting dalam proses pemberantasan korupsi. Kalau kita analisis lebih jauh menurut hemat penulis korupsi sangat bertentangan dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebenarnya sudah ada ruang yuridis yang dapat digunakan untuk memberikan sanksi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi yaitu di Pasal 2 ayat (2) UU PTPK yang merumuskan bahwa, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.” Namun, hingga detik ini dalam pelaksanaannya belum pernah ada satu pun putusan pengadilan di Indonesia yang berani menggunakan pasal ini. Bila ditelusur lebih jauh, selain dikarenakan faktor keberanian dari aparat penegak hukumnya dan harus terpenuhinya terlebih dahulu unsur-unsur yang terdapat dirumusan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK. Penegakan hukum di Indonesia terkait dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dan pemulihan akan dampak yang ditimbulkannya dengan instrumen hukum yang ada pada saat ini dirasakan belum optimal, bahkan dirasakan masih ada kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangannya, sehingga dalam perkembangan upaya pemberantasan dan penanggulangan tersebut dibutuhkan adanya upaya perubahan, bahkan pembaruan ada system hukum yang ada. Kemudian guna menekan tingkat korupsi yang terjadi dan upaya dalam menyejahterakan kehidupan bangsa, maka diperlukan kebijakan formulasi hukum yang dapat memberikan efek jera secara efektif, sekaligus juga dapat mengembalikan kerugian keuangan negara.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberikan hak untuk mengkoordinasikan dan mengawasi, termasuk dalam hal penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Menurut Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002, KPK memiliki kedudukan yang independen, dan melaksanakan tugas dan wewenangnya tanpa campur tangan dari pihak manapun sesuai dengan Pasal 2 dan Pasal 3. Sejak disahkannya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019, saat ini KPK memiliki wewenang yang tidak sekuat sebelumnya. Ada tanda-tanda penurunan kewenangan KPK sebagai lembaga penegak hukum. Beberapa alasan hukum dan politik yang sistemik dibuat oleh anggota legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR), salah satunya adalah bahwa selama ini KPK menjalankan tugas dan fungsi tanpa pengawasan yang memadai. Oleh karena itu, didirikan Dewan Pengawas untuk mencegah terjadinya wewenang mutlak di dalam KPK.
Untuk merespons berbagai permasalahan korupsi yang kian hari semakin marak ini,. maka dipandang perlu untuk memperkuat kerjasama antar lembaga. Karena secara keseluruhan, dampak korupsi sangat merusak sendi-sendi kehidupan bangsa dan Negara serta sistem pemerintahan, perekonomian, dan tatanan sosial dalam sebuah negara. Selain itu korupsi juga bertentangan dengan Quran Surat al-Baqarah ayat 188 yang menyatakan bahwa:
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَࣖ
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui”.(Q.S. al-Baqarah: 188).
Ayat di atas menerangkan tentang larangan mengambil harta orang lain secara batil, (yaitu memperoleh harta dari orang lain dengan cara tidak saling redha, atau salah satu dari dua pihak merasa terpaksa) dalam bentuk dan dipermainkannya suatu hukum. Larangan di atas berarti haram, maka suap itu haram. Senada dengan pendapat di atas, terdapat juga hadis Nabi yang berkenaan dengan larangan suap-menyuap, yaitu:
“Rasulullah Saw, bersabda bahwa melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap” (HR Tarmidzi,1256).
Maksud kalimat Laknat dalam hadis di atas,berarti jauh dari rahmat Allah SWT dan itu terjadi hanya pada perbuatan maksiat besar. Kutukan dan siksaan itu hanya disebabkan oleh perbuatan yang diharamkan.
Untuk itu menurut hemat penulis, Semangat integritas merupakan solusi terbaik dan kunci keberhasilan upaya pemberantasan korupsi. Pentingnya membangun semangat integritas dalam segala aspek kehidupan masyarakat tidak dapat diabaikan. Pendidikan karakter yang mengutamakan nilai-nilai integritas perlu diperkuat di lingkungan pendidikan dan keluarga. Selain itu, perlu adanya perubahan budaya dalam masyarakat yang menolak segala bentuk korupsi. Selain itu karena kita hidup di era digital seperti sekarang, keterlibatan teknologi dan transparansi memegang peranan yang tak kalah penting. Pemanfaatan teknologi informasi dan praktik transparansi dapat menjadi alat efektif dalam pemberantasan korupsi. Sistem pengawasan yang modern dan transparan dapat memberikan keamanan bagi whistleblower (pemberi informasi) dan memudahkan pendeteksian tindakan korupsi. Pemberantasan korupsi memerlukan komitmen yang kuat dari semua pihak, tindakan intensif, dan semangat integritas yang tulus. Hanya dengan upaya bersama, Indonesia dapat membebaskan diri dari belenggu korupsi dan melangkah menuju masyarakat yang adil, makmur, dan berkeadilan.
Dengan implementasi strategi-strategi ini secara konsisten dan berkelanjutan, diharapkan korupsi dapat diminimalisir, serta tercipta pemerintahan yang lebih bersih, transparan, dan bertanggung jawab.